Oleh: Lek Rifa'i *)
"Paman, kasih aku cerita sebelum aku tidur!" Kata si Dia kepada pamannya.
Pamannya pun bercerita:
Ari terbangun dari tidurnya, dia menatap arloji yang terpasang ditangannya. Tak disangka ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 07.00, seketika dia teringat bahwa pagi itu ada janji dengan sahabat-sahabatnya. Dalam keadaan setengah sadar dia langsung menuju ke kamar mandi, tapi ia tidak mandi namun hanya membasuh muka dengan sabun kemudian dilanjutkan berwudlu.
Langit mendung pagi itu. Angin berhembus dengan sahdu mengiringi suasana pagi. Kendaraan bermotor maupun yang tidak bermotor meramaikan jalan raya depan tempat tinggal si Ari.
Si Ari naik ke lantai dua tempat tinggalnya untuk mengambil tas. Dia pilah apa saja yang layak dan pantas dibawa. Dia masukkan buku bacaan satu persatu kedalam tasnya. Setelah dimasukkan lalu tas itu segera diselendangkan di pundaknya. Dan ternyata ia merasakan kalau terlalu berat beban tasnya. Ia buka kembali tasnya untuk mengurangi beban, ia keluarkan buku "orang-orang di persimpangan kiri jalan" karya Soe Hok Gie. Dan kini di dalam tasnya hanya berisi buku catatan dan satu buku bacaan yaitu; "Gerpolek" karya Tan Malaka.
Tas sudah siap, dan kunci motor sudah di tangan. Si Ari turun ke lantai satu, ditujunya garasi motor. Sampai dia pada motornya dimasukkan kunci pada lubang sempit yang berada di bawah setang. Lalu dinyalakan motor itu dengan sekali pancal. "Ngeng...." Motor telah nyala.
Berangkat si Ari menuju tempat ngumpul Sahabat-sahabatnya. Diperjalanan dia sering menengok arloji di tangan. Dengan kecepatan penuh ia melaju seperti pembalap yang beroptimis untuk menang. Dia sangat berburu-buru, karena ia janji ngumpul jam 07.00, ternyata jam 07. 15 dia baru berangkat. Padahal waktu tempuh antara tempat Ari dan tempat ngumpul pada umumnya 45 menit itu standarnya, paling cepat 30 menit. Secara otomatis Ari tetap telat.
Di atas kendaraan yang melaju di jalanan beraspal dengan ukuran lebar lebih kurang 10 meter, si Ari bergumam dalam hati. "Waduh ini pasti sahabat-sahabat sudah pada nunggu. Waduh kena marah saya nanti. Waduh maafkan saya semuanya."
"Ngung ...." Motor malaju kecepatan 80 km/jam. Dan Ari tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Dan ia mencaci keadaan itu. "Hah, lampu merah lagi. Ayo cepat, segera hijau, please!" setelah mencaci, kemudian ia malah berhitung. Dalam hitungan ke 10 lampu kuning sudah menyala, hitungan ke 11 hijau menyala. "Alhamdulillah" ujarnya.
Motor kembali melaju dengan kecepatan penuh, dan Ari teringat kalau ia tadi belum baca doa. Tanpa mengurangi kecepatan iya lantunkan doa bepergian. Setelah selesai berdoa dia melihat ada orang yang menyalipnya dengan kecepatan lebih tinggi darinya. Sepontan dia terlintas pertanyaan. "Bagaimana kalau naik motor secepat itu kemudian nabrak, mati tidak ya ?" Sambil membayangkan ia mendadak takut kecelakaan.
Perasaan takut mencoba dihilangkan dalam benaknya. Kemudian ia muncul ide biar takutnya hilang. Ia baca sholawat dalam perjalanan itu. Seketika ia jadi tenang, karena ia menganggap kalau nanti kecelakaan dia dalam keadaan bersolawat. "Bisa mati Khusnul Khotimah saya nanti kalau mati dalam keadaan bersolawat." Ujarnya dalam hati dengan mulutnya bersholawat. "Sholallahu 'ala Muhammad ...."
Setelah 30 menit perjalanan ia sampailah di tempat ngumpulnya, yaitu "omah buku, uplik cilik" di desa Pelemgede Pucakwangi Pati. Datang dalam posisi telat dia langsung dapat sambutan yang meriah dari Sahabat-sahabatnya.
"Janji jam berapa, datang jam berapa."
"Kamu tega membuat kami menunggu."
"Nunggu itu nggak enak tau."
"Sebagai hukuman karena Ari telat, nanti makan yang traktir dia. Setuju?"
Semua sahabat Ari kompak berteriak. "Setuju....."
Itulah sambutan untuk yang tidak disiplin waktu.
***
"Hahaha....." Widia tertawa. Lalu pamit sama pamannya. "Widia tidur dulu ya paman, terimakasih paman atas ceritanya. Selamat malam!"
Widia masuk ke kamar dan pamannya tetap di ruang tamu untuk melanjutkan baca buku Dunia Shopie (Justin Garder).
*)Penulis merupakan wakil ketua PMII komisariat Joyokesumo STAI Pati
EmoticonEmoticon