#cerpen: MAIN HUJAN

#cerpen: MAIN HUJAN


Oleh; Lek Rifa'i

"srrrrrrrrrrrrrr.........." Hujan tiba dengan derasnya. Banyak orang menyebut bahwa hujan turun membawa keberkahan. Orang Jawa menyebut "hujan" dengan kata "jawoh" yang diartikan sebagai singkatan dari bahasa Arab "جاء رحمة الله", kurang lebih artinya "turunya rahmat Allah".

"Alhamdulillah" suara emak dari rumah bagian belakang. Emak memang menantikan hujan dari kemarin. Ia ingin dengan adanya hujan sawahnya bisa terairi, sebab sawah kami merupakan sawah tadah hujan, jika hujan belum mampu mengairi sawah maka padi belum bisa kami tanam.

Hujan masih turun dengan derasnya, sesuai dengan yang kami harapkan. Hujan deras di waktu sore, waktunya para petani istirahat di rumah. Minum kopi dengan ditemani jagung goreng menjadi menu andalan di musim hujan. Sungguh nikmat yang luar biasa.

Ku seruput kopi, ku rasakan nikmatnya, manisnya, pahitnya, menyatu dalam satu cita rasa kopi ndeso. Entah ada apa pikiranku mulai mengingat masa kecil. Dimana setiap hujan datang, di situ ada wahana bermain gratis. Tak usah bayar, bebas main sepuasnya. Main air di bawah talang penghubung rumah, serasa mandi dibawah air terjun. Pokoknya lebih seru daripada di wahana air buatan manusia.

Seingatku dulu saya juga sering main mancing-mancingan. Bukan mancing beneran, hanya permainan. Itu aku lakukan  biasanya setelah hujan reda. Kuambil kayu, kuikat dengan tali rafia di ujungnya. Dan itulah senjata memancingku. Targetnya bukan di sungai, bukan di waduk, apalagi di pemancingan, sudah pasti bukan itu semua targetnya. Targetnya yaitu di selokan depan rumah, yang ada airnya setiap selesai hujan, kalau nggak hujan ya... nggak ada airnya. Jangan tanya ada ikannya apa tidak. Sudah pasti tidak ada. Namanya juga mancing-mancingan.

Itu yang kurasakan di masa kecilku. Kebahagiaan yang terasa tanpa adanya pikiran kapan ada pr kapan harus belajar. Pokoknya yang penting bermain. Saya sadar itu hanya kenangan kecilku tentu tak bisa kulakukan di hari ini. Walaupun hari ini hujan seperti waktu itu, tapi Usiaku bukan seperti waktu itu. Aku bukan kecil lagi.

Sitimulyo, 16 Januari 2019
MENUNGGU

MENUNGGU

#cerpen

Oleh: Lek Rifa'i *)

Hari ini aku merencanakan beberapa kegiatan untuk saya jalankan. Apakah semuanya berjalan? Tidak semudah itu Ferguso. Kegagalan menemani hari ini. Ternyata gagal masih suka dengan saya. Lalu kapan si gagal mau pergi dari kehidupanku yang saru ini, kapan dia move on? Wallahu alam.

Rencana saya pagi ini bisa memulai bimbingan skripsi. Dalam buku agenda kutuliskan jam 09.30 WIB untuk bertemu dengan dosen calon pembimbingku. (Saya katakan calon karena belum pernah bimbingan, dan surat bimbingannya masih belum saya berikan). Tapi ternyata, sayang seribu sayang beliau belum bisa bertemu jam itu juga.

Alasan kenapa saya belum bisa ketemu dengan pembimbing pada jam itu. Pertama, mobil beliaunya belum ada di kampus. Kedua, hasil chatingan dengan beliau, dan katanya. "Iya mas saya nanti ke kampus,  tapi ini masih di kantor Bappeda." Mencoba saya bersabar dan menunggu.

Pagi yang saya rencanakan indah dengan berbagai agenda terlaksana dengan baik mulai menunjukkan adanya ketidak pastian rencana dengan realita. Berencana itu baik, tetapi sering membuat rencana itu sama halnya melatih diri untuk kebal dengan namanya kecewa. Semakin sering kamu berencana semakin banyak hal yang tidak sesuai dengan rencanamu. Semakin banyak hal yang tidak sesuai dengan rencana, semakin banyak rasa kecewa sering hinggap pada dirimu. Dan itu sudah sering saya rasakan di usia yang belum genap 22 tahun ini. 

Jangan kawatir dengan masalah kecewa. Kecewa merupakan salah satu masalah dari beribu masalah di dunia ini. Kecewa tidak selamanya berakibat negatif. Semua perkara tidak bisa lepas dari positif dan negatif. Begitu pula dengan "kecewa", selain dampak negatif, positif pun ada padanya. Apa itu? Sabar. Kecewa mengajarkan kita untuk sabar. Orang sabar dekat dengan Allah.

Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Saya amati belum muncul juga mobil dosen yang kutunggu. Saya buka buku agenda, terlihat bahwa; "pukul 10.00 WIB  membaca buku di perpustakaan kampus." Kuputuskan saja melaksanakan agenda itu. Itung-itung sambil nunggu beliau Dosen.

Didalam perpustakaan tidak terasa dengan asyiknya saya telah habis puluhan halaman "Dunia Sophie" karya Justin Gaarder. Tiba-tiba di tengah membaca HP-ku bergetar, pertanda ada pesan. Saya lihat itu pesan. "Tunggu ya, ini saya masih di bengkel, benerin lampu." Itu pesan dari dosen yang saya tunggu-tunggu. Waktu telah menunjukkan pukul 11.30 WIB, setengah jam lagi perpustakaan tutup, jam istirahat.

Pesan itu saya jawab; "iya pak siap." Kemudian saya keluar dari perpustakaan karena azan dhuhur telah berkumandang.

Selesai sholat dhuhur saya merasa ada yang aneh dengan perut saya. Setelah saya rasa-rasakan ternyata  perut ngajak ke warung. Saya turuti si perut yang kosong untuk beli makan di warung depan kampus.

"makan bro?" Tanya teman.

"Iya ini mau makan bro." Jawab saya.

Makanan telah siap santap. Saya masukan nasi sesendok demi sesendok ke dalam mulutku. Tak lupa sesekali kerupuk juga saya masukkan, untuk menambah kenikmatan. Belum ada lima menit nasi sudah habis, kerupuk pun ikutan habis, minum yang belum. Saya aya t teh anget dalam gelas, seteguk dua teguk tiga teguk..... Lima teguk telah habis pula teh itu. Waktunya bayar.

Makan selesai tiba-tiba saya ingat bahwa pukul 14.00 WIB, saya ada janji dengan sahabat-sahabat "Forum Pecinta Buku" dan ini sudah pukul 13.00 WIB. Sedangkan Dosen yang saya tunggu masih belum datang ke kampus. Akhirnya saya putuskan untuk membatalkan pertemuan itu. Saya kirim pesan ke beliau; "maaf pak tidak jadi, saya ada urusan mendadak."

*) Penulis merupakan anak orang pinggiran

#cerpen perang

Gambar dari: https://www.google.com/search?q=gambar+senjata&safe=strict&client=ms-android-spc&prmd=ivsn&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=2ahUKEwiU1vOSsuPfAhWLLY8KHa_vCZEQ_AUoAXoECAsQAQ&biw=377&bih=594&dpr=1.27#imgrc=egsLjKcrZFOz_M


Perang Belum Selesai

"Wan, kapan kamu mau nikah?" Mencoba saya memulai bicara pada teman tentaraku.

"Setelah kita menang." Jawab teman tentaraku.

Nama temanku adalah Iwan Setyawan, dia berusia 30 tahun, tapi belum menikah. Saya kagum dengan dia, dengan kedisplinannya, dengan semangat juangnya. Ia termasuk orang yang totalitas dalam memperjuangkan kemerdekaan negaraku.

"Wan, kamu merasa jenu nggak tiga puluh tahun hidupmu terhabis dalam masa mencekam. Setiap saat nyawa terancam."

"Jujur ya, sebenarnya saya ingin terbebas dari ini semua. Tapi saya sadar bahwa kita tak akan terbebas kalau hanya diam saja. Kita harus melawan, dan terus melawan sampai menang." 

"Aku ingin bebas Wan, tapi aku tak ingin selamanya hidup seperti terpenjara semacam ini. Hidup dalam keadaan perang, dalam keadaan waspada setiap saat, setiap detik."

"Kau ingat kata Tan Malaka?" Si Iwan mencoba mengingatkanku.

"Yang mana Wan?"

"Jika kita menginginkan kemerdekaan orang lain, maka kita harus siap terpenjara."

"Iya aku ingat, ........."

***

"cut, oke soting  hari ini selesai kita lanjutkan besok." Sutradara menghentikan soting film hari ini. 

Ini adalah soting yang kesekian kalinya. Saya di sini berperan sebagai tentara yang sering mengeluh. Padahal saya kurang sepakat dengan peran ini. Karena sangat terbalik dengan kepribadian saya yang selalu bersyukur pada apa yang telah saya terima. 

Semoga ini semua menjadi pelajaran bagi saya dalam berakting. Amin.

Oleh; Lek Rifa'i

Pati, 08/01/2019

Resensi Buku

Gambar diambil dari Tokopedia


Judul Buku : Sufisme Sunan Kalijaga
Penulis        : Dr. Purwadi, M. Hum
Penerbit      : Araska, Bantul, Yogyakarta Cetakan      : Pertama, Mei 2015
Tebal           : × + 224 halaman

Tentang Sunan Kalijaga, Mensyiarkan Agama Islam di Jawa dan Media Berdakwah

Buku ini bercerita tentang kisah hidup spiritual Sunan Kalijaga pada masa mengenalkan agama islam khususnya di daerah Jawa. Ditulis dalam bentuk novel yang terdiri dari beberapa episode. Sunan Kalijaga merupakan salah satu bagian dari Walisongo (dalam bahasa Indonesia berarti sembilan wali). Mereka adalah tokoh-tokoh yang berjasa besar dalam pengembangan sekaligus tokoh yang menyebarkan ajaran agama islam. Ajaran islam dibawa dengan damai menggunakan media ajaran lama, namun sedikit demi sedikit mulai dimasuki nuansa islami.

Saat belajar khususnya belajar agama diperlukan adanya sosok guru. Sunan Kalijaga melakukan pengajaran ilmu sejati kepada semua elemen masyarakat. Tak bisa dipungkiri bahwa ajaran ilmu sejati yang disampaikan bisa diterima oleh masyarakat yang datang berbondong-bondong berguru kepada Sunan Kalijaga.

Berprinsip _Jawa digawa Arab digarab_ dalam bidang seni budaya mampu membuat orang awam menerima sepenuh hati ajaran islam. Kesenian pada zaman dahulu dipakai sebagai acara adat yang masih kental dengan ajaran nenek moyang. Melalui kecerdasan pemikiran dari Sunan Kalijaga terciptalah kearifan lokal yang mampu menciptakan suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Episode per episode novel ini dikemas secara runtut yang terdiri dari  sepuluh episode. Episode pertama hingga episode ketiga menceritakan Sunan Kalijaga mulai dari lahir hingga mencapai derajat insan kamil. Tentang perjalanan spiritual Sunan Kalijaga dalam menimba ilmu dengan Sunan Bonang hingga dan bertemu Nabi Khidir. Dijelaskan pula asal muasal gelar Sunan Kalijaga dan diangkat menjadi wali penutup, melengkapi walisongo yang awalnya baru berjumlah delapan wali.

Pada episode keempat buku ini membicarakan tanah kelahiran Sunan Kalijaga, kondisi Tuban di bawah Demak, dakwah islam di Kadipaten Tuban. Mulai halaman 56 hingga halaman 70 dijabarkan para bupati Tuban pertama hingga sekarang yang dalam buku disebutkan Bupati XLX Dra. Heni Relawati, M. Si. Berisi tentang silsilah bupati Tuban juga sejarah politik Kadipaten Tuban. Nama Sunan Kalijaga tak disebut pada episode ini. Melainkan orang-orang yang berperan dalam Kadipaten Tuban. Antara lain : Adipati Demak, Arya Wilwatikta, Pangeran Benowo, Senopati Mataram Hadiningrat, dan lain sebagainya. Mereka adalah tokoh-tokoh yang memperebutkan takhta di Kadipaten Tuban.

Proses mengislamkan perkampungan Cina yang dilakukan walisongo menemui banyak hambatan. Mulai dari puncak kejayaan sampai runtuhnya ketajaan Demak yang terjadi karena perebutan kekuasaan dalam lingkungan keluarga. Sunan Ampel yang ternyata adalah Boong Swi Hoo mempunyai seorang putra bernama Bonang, yang kemudian menjadi Sunan Bonang. (Hal. 82)

Pembangunan Masjid Agung Demak juga dijelaskan pada novel ini. Tentang saka tal atau tiang tatal Masjid Agung Demak yang terbuat dari kepingan-kepingan kayu yang sangat tepat dan rapi. Kini banyak rombongan orang yang sengaja datang ke Masjid Agung Demak untuk beribadah atau sekadar melihat keagungan masjid. Melihat peninggalan Sunan Kalijaga sembari mengingat-ingat sejarah. Bagaimana mungkin kepingan kayu disusun bisa sekuat itu menopang masjid semegah itu jikalau tanpa kekuasaan Allah. Hal ini mengindikasikan bahwa Sunan Kalijaga mempunyai karomah sebagai waliyullah.
Media dakwah yang dipakai wali salah satunya adalah wayang. Dalam novel ini sejarah wayang dipaparkan penulis pada episode kedelapan "dakwah agama islam dengan seni budaya". Tentang wayang beber, sejarah pembuatan wayang oleh para wali, dan pelengkap wayang yaitu gamelan. Para wali juga menciptakan tembang macapat yang bila ditafsirkan melambangkan tingkat kehidupan manusia dari lahir sampai ajal menghampiri. Dalam berdakwah, Sunan Kalijaga memberi wejangan-wejangan berharga. Dijelaskan oleh penulis ulasan singkat dari kitab Niti Sruti, kitab Niti Praja, dan kitab Sewaka berikut terjemah serta penjelasannya.

Pada episode terakhir penulis menceritakan ajaran Sunan Kalijaga tentang Cupu Manik Astagina atau pegangan hukum bagi para dewa. Digambarkan dalam novel ini, seorang yang berusaha meraih cita-cita yang mulia ( waranggana) pasti akan menjumpai banyak godaan. Begitupun Sunan Kalijaga saat melihat para warga belum mempunyai alat pertanian yang sempurna. Hal itu senada dengan cita-cita tinggi Sunan Kalijaga membuat cangkul dan bajak sebanyak-banyaknya untuk dibagikan kepada rakyat. Dijelaskan pula falsafah cangkul (pacul) yang berkaitan erat dengan orang yang ingin menjadi pemimpin masyarakat.

Novel ini dapat dijadikan sumber pengetahuan bagi pemula yang ingin mengetahui seluk beluk Sunan Kalijaga dan sesuatu yang berhubungan dengan islamisasi tanah Jawa. Menyajikan pengajaran ilmu ma'rifat Nabi Khidzir yang dikemas runtut sesuai alurnya sehingga menambah pembaca semakin penasaran terhadap episode selanjutnya. Adanya ulasan dari kitab" berbahasa jawa kuno kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadikan pembaca yang tidak paham bahasa jawa kuno bisa mengetahui artinya. Hal ini menunjukkan bahwa penulisnya paham akan bahasa jawa kuno dan referensi dalam membuat novel pun jelas.

Sebagai novel yang membicarakan sufisme Sunan Kalijaga, pembaca bisa meneladani ajaran dan laku spiritual sang guru sejati, wejangan-wejangan, dan ajaran Sunan Kalijaga. Makna piranti hidup yang tergambar dalam bagian-bagian bajak : Pegangan, Pancadan, Tanding, Singkal, Kejen, Olang-aling, Racuk. Selain itu terdapat juga falsafah cangkul (pacul). Pacul diartikan ngipatek sing muncul, artinya membuang apa yang timbul. Maksudnya : dalam menjalankan sesuatu yang baik, tentu timbullah godaan-godaan yang harus disingkirkan.

Peresensi : Lathifatus Sa'adah
Alamat      : Rt: 05/II Desa Pelemgede Kec. Pucakwangi, Pati Jawa Tengah
Status       : Siswi di MA Matholi'ul Huda Pucakwangi
Kontak      : lathifahs52892@gmail.com, Telp/WA : 085218256375
Buku Paman

Buku Paman

*)cerpen oleh: Lek Rifa'i

Siang itu matahari malu-malu menampakkan dirinya. Bersembunyi dibalik mendung hitam pekat seperti tidak sabar untuk menurunkan hujan. Kondisi ini membawa kabar gembira bagi para petani. Penantian panjang akan segera berakhir. Hujan turun, sawah berair, musim tanam pun tiba.

Terdengar bunyi "tik-tik" berasal dari genting rumah. Semakin lama "tik-tik" semakin cepat. Gerimis telah tiba. Sang mendung sudah tidak mampu menampung perasaan. Dan keluarlah semuanya, hujan.

"Assalamualaikum." Pintu rumah terbuka.
"Wa'alaikumsalam." Jawab laki-laki di ruang tamu.

Tergopoh anak gadis dengan kondisi memakai mantel mendekat pada laki-laki di ruang tamu rumah. Diulurkan tangan si gadis, dan disambut dengan uluran tangan laki-laki itu. Kini bersalamanlah kedua insan beda kelamin. Dicium tangan laki-laki oleh si gadis. "Copot dulu mantelnya, ganti baju terus makan, solat jangan lupa." Seru laki-laki itu pada si gadis. Si gadis pun segera meninggalkan ruang tamu.

Ditemani secangkir kopi dan kacang laki-laki itu duduk di atas sofa ruang tamu. Kelihatan raut muka kadang tersenyum, kadang sepaneng. Sebuah novel berada pada tangannya. Sebuah novel dengan cover gambar kereta kuda.

Tidak lama kemudian si gadis nampak lagi. Dengan pakaian yang berbeda, sudah bukan seragam sekolah lagi. Dengan gamis panjang, kerudung warna pink. Kaki sudah tidak bersepatu, melainkan tergantikan oleh sandal jepit.

Gadis itu mendekati laki-laki yang asik membaca novel itu. "Baca apa paman?" Tanya si gadis.

Dalam keadaan masih memperhatikan buku novel, pamannya laki-laki itu menjawab. "Ini paman lagi baca novel."

"coba Widia lihat paman."
"Ini,..." Laki-laki itu menutup novelnya dan memperlihatkan pada si gadis.

"Tebal banget, yang nulis siapa ini paman?" Tanya si gadis sambil membuka-buka halaman pada buku itu.

"Itu di depan ada tulisannya." Tunjuk laki-laki itu pada cover buku.

Ditutup buku itu oleh si gadis dan dibaca nama penulisnya. "Oh, Pramoedya Ananta Toer...."

"Iya itu penulisnya." Tegas si Laki-laki. "Kamu mau pinjam?" Lanjut laki-laki itu yang merupakan paman dari si gadis.

Si gadis itu mencoba membaca sinopsis dari buku itu. Kemudian dilihatnya halaman paling belakang. Dan dia yakin buku itu memang tebal. Melihat ketebalan buku yang berjudul "Bumi Manusia" itu ia mulai ragu untuk meminjam pada pamannya.

"ada yang lebih tipis dari ini nggak paman?" Tanya si gadis yang bernama Widia itu. "Soalnya saya dapat tugas Bahasa Indonesia untuk meresensi novel paman." Jelas si gadis.

"Ada, ini..." Ditinjuk buku di meja oleh pamannya.

"Ini paman?" Tanya Widia untuk meyakinkan. Diambilnya buku di meja ruang tamu itu yang berjudul "Serigala" tertulis nama penulis di cover bagian bawah "Soesilo Toer."

"buku silahkan dibaca. Besok kalau sudah selesai dibaca dan diresensi kembalikan ke Paman. Oke...." Ujar Pamannya Widia.

"Oke Paman, siap dan terimakasih." Ucap Widia.

Si Dia panggilan singkat Widia berjalan menuju ke kamar dengan membawa buku yang dipinjam dari pamannya. Waktu itu menunjukkan pukul 14.00. Hujan pun telah reda. Matahari mulai berani menampakkan diri dengan sedikit condong ke barat. Jalan Dia hampir sampai pada pintu kamar. Tiba-tiba terdengar suara dari belakang.

"Dek... Jangan lupa besok kalau selesai bacanya presentasi ke Paman ya!"

*) Penulis merupakan wakil ketua Komisariat PMII Joyokesumo STAI Pati.