Siapkan SDM Unggul, PMII Pati Selenggarakan Seminar Kepemudaan

Suasana Seminar Kepemudaan oleh PMII Pati. Ahad (14/12/2019). Foto; Le' Rifa'i


#infopmii

Pati- PMII cabang Pati selenggarakan seminar kepemudaan dengan tema "Mempersiapkan Generasi Muda yang mempunyai SDM unggul dalam Menyongsong Indonesia Emas 2045." Acara tersebut dilaksanakan di SMK NU Margorejo  Pati, pada Sabtu (14/12/2019).

Seminar dimoderatori oleh Ahmad Khoirun Ni'am, bersama narasumber M. Nor Efendi (wartawa) dan M. Iqbal Dawami (Penulis). Diikuti peserta dari kader dan anggota PMII kabupaten Pati, serta kader PMII cabang tetangga, se-pantura timur.

Pada kesempatan tersebut Efendi, sapaan akrab M. Nor Efendi menyampaikan, "Generasi PMII kalau bisa buat gerakan rumpun. Artinya berkomunal sesuai bidang keahlian masing-masing. Ini merupakan jalan untuk menyiapkan generasi unggul." Beliau juga mengarahkan kaula muda supaya bisa berbagi peran dengan sahabatnya dalam menjalankan tugas-tugas pergerakan, yang intinya berbagai tugas untuk manfaat. "Untuk menjadi manfaat kita perlu bekerjasama untuk sebuah kemanfaatan yang lebih."

Peserta seminar Kepemudaan berdiri untuk menyampaikan pertanyaan kepada narasumber. Foto; Le' Rifa'i


Sedangkan narasumber kedua yang akrab dipanggil Iqbal memberikan arahan kepada peserta yang hadir untuk menemukan apa minat bakatnya, yang terlahir bukan karena ikut-ikutan saja.  "Generasi muda Indonesia kalau mau Indonesia emas harus paham fashion-nya apa, apa yang telah menjadi gaya hidupnya sendiri tanpa tiru-tiru orang laim. Kemudian Istiqomah pada apa yang menjadi hobbinya." Ujarnya.

Ketua umum PC PMII Pati, Ah. Shoimul Mubarok mengutarakan acara tersebut bertujuan untuk mengajak kader dan anggota PMII khususnya, umumnya semua peserta yang hadir, untuk bersama-sama bersiap menghadapi satu abad Indonesia, dengan cita-cita Indonesia menjadi bangsa dan negara yang maju, dan digandrungi banyak orang seperti halnya emas.  "Tujuan kami adalah untuk mengajak kader dan anggota, serta peserta semuanya untuk bersama-sama menyiapkan diri menghadapi Indonesia emas di tahun 2045. Karena generasi muda sekaranglah yang akan mengisi Indonesia satu abad kelak, jadi kontribusi nyata dari pemudalah yang  mampu mewujudkan Indonesia emas. Kami pun sadar kalau tidak mungkin bisa mencapai Indonesia emas kalau SDM pemudanya biasa-biasa saja. SDM pemuda harus unggul untuk Indonesia Maju. Makanya kami mengambil tema tersebut dalam seminar kali ini." Jelas Shoim.  (Le' Mad)

Gerakku

Gerakku


#cerita

Assalamualaikum
Ini cerita yang tak perlu didengar. Karena akan mengganggu pendengaran bila tak paham maksudnya. Cerita singkat ini berisi hal fiktif yang pernah terjadi dalam dunia nyata. Berisi mimpi yang telah terlewati sebagai kenyataan. Tak ada sajak indah pula. Sebelumnya maaf.....
Suatu saat saya bertemu dengan sahabatku, kami pun ngobrol layaknya manusia lain yang kalau bertemu teman atau kenalan langsung komunikasi. Begitupun aku dan sahabatku.
Warung bu luluk depan kampus  itulah tempat kami ngobrol. Kurang lebih obrolan itu seperti berikut:
"Sahabat pernahkah menjadi kecil?" Tanyaku pada seorang yang sering tidur bersamaku.
"Pernah. Kau juga pernah kecil kan?"
"Pernah. Beda masa kecil dengan sekarang bat."
"Tentu. Karena kau sudah dewasa."
"Bukan itu bat. Coba lihat anak sekarang bat. Coba lihat lima, bahkan 10 th lalu. Mereka bermain dengan dunia nyata. Sekarang beda....."
"Memang beda zaman beda cara hidup. Aku kecil beda dengan mereka kecil. Aku bergerak sekarang beda dengan pergerakan zaman seniorku dulu. Iya beda caranya saja. Semangatnya jangan."
"Bat, bagaimana kau mengartikan pergerakan? Aku sudah lama hidup dalam lingkungan orang yang mengaku pergerakan. Tapi aku masih bingung dengan arti pergerakan sesungguhnya. Apakah pergerakan itu ngopi di Warkop, apakah pergerakan itu nyanyi, apakah pergerakan itu ngobrol, apakah pergerakan itu seminar, apakah pergerakan itu diakusi. Bat, coba beri aku penjelasan."
"Pergerakan bagiku simpel. Bergerak....."
"Bergerak yang bagaimana bat?"
"Bergerak yang sederhana tak perlu mewah asal itu bermanfaat untuk orang lain. Bergerak tak perlu kopi, tak perlu nyanyi, tak perlu seminar, bergerak hanya butuh keberanian........"
"Maksudnya bat?"
"Kita refleksi anak pergerakan sekarang. Tentu akan bingung dengan kondisi sekarang. Aku pun bingung. Mereka hanya pandai bernyanyi, berdiskusi, beretorika, di depan teman mereka sendiri. Suara mereka tak mampu didengar penguasa, suara mereka tak mampu mempengaruhi rakyat. Berbeda dengan para aktivis jaman  dulu. Mereka benar-benar agen of change, sebab berani tangan terkepal maju kemuka, dan itu bukan hanya nyanyian tetapi realisasi  pada lapangan. Kaum pergerakan sekarang kenapa begini, karena modal mereka kurang. Kurang berani...... Iya berani bertindak."
"Bat, kenapa demikian?"
"Pahami bat, tidak ada kesuksesan tanpa keberanian. PMII harus berani...."
Tangan terkepal dan maju kemuka.
Jepara, 07 Desember 2019

Pesan kyai

Pesan kyai



Pesan KH. Muhammad Syaifullah Arif (pengasuh Ponpes. Singa Putih Munfaridin) :
1. _Mangano seng akeh, yen wayahe ngising yo ngising dewe._ (carilah ilmu sebanyak-banyaknya, ketika waktunya bermanfaat akan bermanfaat dengan sendirinya)

2. _Berjuang ojo wedi-wedi, landasi perjuangan karo lillah lan billah._ (berjuang janganlah takut, sandarkan semua karena Allah dan bersama Allah)

3. _Santri kui calon pemimpin. Pemimpin kui kudu iso muaske seng dipimpin, pengurus kudu iso muaske seng diurus._  Ibarat pemain layangan harus bisa mengendalikan layangannya supaya tidak sampai putus dan jatuh dan harus tau kapan di kencangkan dan kapan di kendorkan.

4. Harta yang paling berharga adalah istiqomah. Romo kyai Syaifullah pernah dapat tawaran projek dalam satu minggu 25 jt, tapi ditolak karena tidak diizinkan oleh sang guru dikarenakan disuruh istiqomah ngasuh santri dengan isyarat _"istiqomah kui regane larang, ora kabeh wong iso."_
Sudah lama suaraku tidak kutulis

Sudah lama suaraku tidak kutulis


Waktu berjalan cepat, entah ini perasaanku saja atau memang zamannya sudah mau kiyamat. Perubahan yang terjadi di dunia pun semakin santer bak putaran kipas angin dengan level tertinggi. Internet mudah diakses, semua manusia punya android, anak kecil sudah tak tau apa itu dakon, ibu2 sudah lupa kegiatan _petan_, petani tak lagi pakai sapi untuk membajak, tak perlu arit untuk memanen. Semuanya teknologi, dari industri sampai mainan anak-anak. Modern katanya.

Semuanya ini membanggakan tapi ada pula yang menjadi masalah. Manusia lebih akrab dengan komunitas WA daripada komunitas warung. Warung tetap rame, asal ada WiFi. Anak-anak tetap bermain, tapi tak punya teman bermain, mainya game online. Kebutuhan bukan hanya sandang pangan papan, tapi tambah satu, yaitu peket data internet.

Dunia sudah modern. Tandanya digital maju. Apa-apa serba digital. Jualan tak perlu toko, koran tak perlu kertas, undangan tak perlu surat, dll. Mungkin 10 tahun ke depan makan tak perlu minum (seret), mandi tak perlu air (kepet), Internet tak perlu data dan pulsa (amin).

Setelah lama  tak menulis, diataslah yang menjadi bahan tulisan hari ini. Itu suara hati pikiran dan hayalanku. Jadi mohon maaf bila itu terlalu lucu untuk dikatakan tulisan baik. Akhirnya, bila lucu "tertawalah sebelum tertawa dilarang" presiden RI (Republik Imajinasi) yang telah melakukan selebrasi kemenangan sebelum peluit panjang dibunyikan.

TTD
Lek Rifa'i

Resensi Buku "DEHARMONIE"


Judul buku      : DEHARMONIE
Penulis             : Yanti Soeparmo
Penerbit           : Laksana (Jogjakarta)
Cetakan           : Pertama, Maret 2011
Tebal               : x+ 384 halaman

Antara Eropa dan Pribumi

Yanti soeparmo telah menyajikan subuah novel dengan cerita yang menarik untuk dibaca. Novel “DEHARMONIE” yang ia lahirkan menceritakan subuah cinta yang dibalut dengan nuansa perjuangan atas ketidak adilan dan kesewenang-wenangan pemerintah colonial Belanda. Dia mampu membubuhkan fakta sejarah dalam novel tersebut. Dan begitulah keunikan tulisan yang digubah oleh seorang penulis yang memulai karir menulisnya sejak menjadi wartawan di HU Mandala.

“DEHARMONIE” bercerita tentang kisah kasih antara darah Eropa dengan darah pribumi Hindia (Indonesia). Rafa yang memiliki nama lengkap Rafael Van Den Berg menjadi tokoh utama dalam karya tersebut. Lahir sebagai keturunan Belanda berdarah Eropa, ia kecil dan besar di Batavia.  Menjadi dokter di CBZ[1]  (Central Bergelijk Ziekenhuis) adalah pekerjaannya. Sebelum menjadi dokter di CBZ  Rafa merupakan dokter militer angkatan darat berpangkat letnan satu (hal. 9). Keinginannya menjadi dokter adalah untuk menyelamatkan sebanyak mungkin wanita hamil, supaya bisa melahirkan dengan selamat dan bayinyapun selamat. (hal. 60)

Rafa merupakan putera dari Leonard Van Den Berg. Rafa kecil diasuh oleh Bi Irah, seorang pendatang dari Garut yang dibayar bapaknya. Sedangkan ibunya telah meninggal pada saat melahirkannya. Dari lahir tanpa kasih sayang sang ibu, Rafa menganggap Bi Irah seperti ibunya sendiri. Sampai usia 8 tahun Bi Irah pergi meninggalkan Rafa karena harus balik ke kampung halaman untuk merawat orang tuanya yang sakit. Semenjak perpisahan itu, Rafa baru bertemu lagi dengan Bi Irah waktu bertugas di Leles Garut, itupun karena ia menyempatkan untuk berkunjung ke rumah Bi Irah.

Tokoh kedua adalah istri Rafa, namanya Salmah tetapi Rafa sering memanggilnya Salma (tidak pakai “H” ). Ia berasal dari Garut daerah Leles, dan asli pribumi, bukan Eropa ataupun keturunan. Bertemu dengan Rafa pertama kali saat di rumah Bi Irah, pada saat membawa keponakannya berobat kepada Rafa. Dan dari situlah kisah cinta antara Belanda dengan inlanders[2]  bermula. (hal. 93)

Awal kisah cinta mereka sempat terhalang oleh orang tua Salmah yang menolak lamaran Rafa. Alasan ditolaknya lamaran karena Rafa tidak sebagai Muslim. Setelah berfikir panjang kali lebar demi memperjuangkan cintanya kepada Salmah akhirnya Rafa masuk Islam dengan bantuan Ustad Haji Hasan Arif. Karena syarat yang diberikan oleh bapaknya salma telah terpenuhi akhirnya merekapun menikah dengan cara Islam. (hal. 127)

Bahtera rumah tangga merekapun berlayar, dinahkodai laki-laki berdarah Eropa dengan sang istri berdarah pribumi. Diawal pernikahan mereka, Rafa merasakan adanya tekanan yang dikarenakan  ibu Salmah kurang begitu sepakat atas pernikahan mereka. Namun setelah Salmah mengandung, hubungan Rafa dengan ibu mertuanya berangsur membaik.

Sampai suatu ketika, ada insiden penyerangan oleh tentara Hindia Belanda di Pondok Haji hasan Arif yang dianggap sebagai anggota SI (sarekat Islam) pada saat perayaan pernikahan anaknya. Penyerangan dilakukan dengan alasan karena adanya penolakan oleh Haji Hasan Arif untuk menjual padi hasil panennya kepada pemerintah Hindia Belanda. Dalam insiden itu, Haji Hasan Arif tewas tertembak, bapak mertua Rafa yang turut hadir dalam acara pernikahan tersebut juga tewas tertembak. Salma dan ibunya selamat, namun semenjak peristiwa itu mereka meninggalkan Leles tanpa sepengetahuan Rafa. Sedangkan Rafa sendiri tidak turut hadir pesta pernikahan yang berujung menjadi peristiwa berdarah tersebut, karena Rafa disekap dan dibuang terlebih dahulu oleh tentara. Sejak peritiwa itulah Rafa dan Isterinya berpisah. (hal. 152)

Selain menceritakan kisah cinta, “DEHARMONIE” juga mengungkapkan beberapa fakta sejarah pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Seperti yang di halaman 121, menjelaskan bahwa Sarekat Islam didirikan pada 1911 oleh R.M. Tirto Adisoeryo yang merupakan wartawan dan Haji Samanhoedi yang seorang saudagar batik.  Novel tersebut berlatar pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Dimana kehidupan pribumi masih dipandang sangatlah rendah oleh penguasa yang dari Eropa. Dan juga dinovel tersebut dijelaskan bagaimana kekejaman pemerintah dalam menjalankan sistem tanam paksa. Pada halaman 129-130; paska perang perang dunia 1 (1914-1918) beberapa Negara Fasis, seperti Jerman, Italia dan Jepang mulai unjuk kekuatan militer, bahkan melakukan ekspansi diwilayah Negara lain. Melihat Jepang yang sudah mampu menguasai wilayah semenanjung Korea, pihak militer Hindia Belanda mulai ada kekhawatiran akan adanya serangan Jepang ke Hindia, maka demikian perlu adanya persiapan untuk mengantisipasi terjadinya perang. Salah satu programnya adalah dengan menyiapkan cadangan pangan militer. Wilayah Garut yang terkenal subur diwajibkan menanam padi, jika ada tanaman lain yang subur harus diganti dengan padi, dengan ketentuan sebagian hasil panen harus dijual kepada pemerintah dengan harga murah. Padahal pada waktu itu banyak masyarakat yang menanam tembakau, karena menolak untuk menanam padi banyak tanaman penduduk yang dibabat paksa oleh tentara Hindia.

Itulah sedikit tentang buku yang berjudul “DEHARMONIE”. Sangat cocok untuk bacaan bagi generasi muda untuk membangun sebuah karakter cinta dan untuk menambah pengetahuan tentang masa lalu bangsa Indonesia. Bangsa yang besar adalah bangsa yang kenal sejarah bangsanya. “Jas Merah” jangan sekali-kali melupakan sejarah. (Ir. Soekarno)

Tidak ada kebahagiaan tanpa perjuangan. Tidak ada kemerdekaan tanpa penderitaan. Semua akan indah jika kita mau berjuang dan berusaha serta tidak takut menderita. Seperti itulah kiranya pesan yang ditangkap dari “DEHARMONIE”. Untuk lebih jelasnya baca sendiri bukunya!

Peresensi         : Ahmad Rifa’i (Lek Rifa’i)
Alamat            : Sitimulyo, Pucakwangi, Pati
Status              : Mahasiswa di STAI Pati
Kontak             :  ahmadcahsobo@gmail.com, 0853-2899-3953 (WA)




[1] Saat ini menjadi RSUP Dokter Cipto Mangunkusumo
[2] Pribumi


Resensi Buku
Judul Buku : Sufisme Sunan Kalijaga
Penulis        : Dr. Purwadi, M. Hum
Penerbit      : Araska, Bantul, Yogyakarta Cetakan      : Pertama, Mei 2015
Tebal           : × + 224 halaman
                     *Tentang Sunan Kalijaga, Mensyiarkan Agama Islam di Jawa dan Media Berdakwah*
Buku ini bercerita tentang kisah hidup spiritual Sunan Kalijaga pada masa mengenalkan agama islam khususnya di daerah Jawa. Ditulis dalam bentuk novel yang terdiri dari beberapa episode. Sunan Kalijaga merupakan salah satu bagian dari Walisongo (dalam bahasa Indonesia berarti sembilan wali). Mereka adalah tokoh-tokoh yang berjasa besar dalam pengembangan sekaligus tokoh yang menyebarkan ajaran agama islam. Ajaran islam dibawa dengan damai menggunakan media ajaran lama, namun sedikit demi sedikit mulai dimasuki nuansa islami.

Saat belajar khususnya belajar agama diperlukan adanya sosok guru. Sunan Kalijaga melakukan pengajaran ilmu sejati kepada semua elemen masyarakat. Tak bisa dipungkiri bahwa ajaran ilmu sejati yang disampaikan bisa diterima oleh masyarakat yang datang berbondong-bondong berguru kepada Sunan Kalijaga.

Berprinsip _Jawa digawa Arab digarab_ dalam bidang seni budaya mampu membuat orang awam menerima sepenuh hati ajaran islam. Kesenian pada zaman dahulu dipakai sebagai acara adat yang masih kental dengan ajaran nenek moyang. Melalui kecerdasan pemikiran dari Sunan Kalijaga terciptalah kearifan lokal yang mampu menciptakan suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Episode per episode novel ini dikemas secara runtut yang terdiri dari  sepuluh episode. Episode pertama hingga episode ketiga menceritakan Sunan Kalijaga mulai dari lahir hingga mencapai derajat insan kamil. Tentang perjalanan spiritual Sunan Kalijaga dalam menimba ilmu dengan Sunan Bonang hingga dan bertemu Nabi Khidir. Dijelaskan pula asal muasal gelar Sunan Kalijaga dan diangkat menjadi wali penutup, melengkapi walisongo yang awalnya baru berjumlah delapan wali.

Pada episode keempat buku ini membicarakan tanah kelahiran Sunan Kalijaga, kondisi Tuban di bawah Demak, dakwah islam di Kadipaten Tuban. Mulai halaman 56 hingga halaman 70 dijabarkan para bupati Tuban pertama hingga sekarang yang dalam buku disebutkan Bupati XLX Dra. Heni Relawati, M. Si. Berisi tentang silsilah bupati Tuban juga sejarah politik Kadipaten Tuban. Nama Sunan Kalijaga tak disebut pada episode ini. Melainkan orang-orang yang berperan dalam Kadipaten Tuban. Antara lain : Adipati Demak, Arya Wilwatikta, Pangeran Benowo, Senopati Mataram Hadiningrat, dan lain sebagainya. Mereka adalah tokoh-tokoh yang memperebutkan takhta di Kadipaten Tuban.

Proses mengislamkan perkampungan Cina yang dilakukan walisongo menemui banyak hambatan. Mulai dari puncak kejayaan sampai runtuhnya ketajaan Demak yang terjadi karena perebutan kekuasaan dalam lingkungan keluarga. Sunan Ampel yang ternyata adalah Boong Swi Hoo mempunyai seorang putra bernama Bonang, yang kemudian menjadi Sunan Bonang. (Hal. 82)
Pembangunan Masjid Agung Demak juga dijelaskan pada novel ini. Tentang saka tal atau tiang tatal Masjid Agung Demak yang terbuat dari kepingan-kepingan kayu yang sangat tepat dan rapi. Kini banyak rombongan orang yang sengaja datang ke Masjid Agung Demak untuk beribadah atau sekadar melihat keagungan masjid. Melihat peninggalan Sunan Kalijaga sembari mengingat-ingat sejarah. Bagaimana mungkin kepingan kayu disusun bisa sekuat itu menopang masjid semegah itu jikalau tanpa kekuasaan Allah. Hal ini mengindikasikan bahwa Sunan Kalijaga mempunyai karomah sebagai waliyullah.
Media dakwah yang dipakai wali salah satunya adalah wayang. Dalam novel ini sejarah wayang dipaparkan penulis pada episode kedelapan "dakwah agama islam dengan seni budaya". Tentang wayang beber, sejarah pembuatan wayang oleh para wali, dan pelengkap wayang yaitu gamelan. Para wali juga menciptakan tembang macapat yang bila ditafsirkan melambangkan tingkat kehidupan manusia dari lahir sampai ajal menghampiri. Dalam berdakwah, Sunan Kalijaga memberi wejangan-wejangan berharga. Dijelaskan oleh penulis ulasan singkat dari kitab Niti Sruti, kitab Niti Praja, dan kitab Sewaka berikut terjemah serta penjelasannya.
Pada episode terakhir penulis menceritakan ajaran Sunan Kalijaga tentang Cupu Manik Astagina atau pegangan hukum bagi para dewa. Digambarkan dalam novel ini, seorang yang berusaha meraih cita-cita yang mulia ( waranggana) pasti akan menjumpai banyak godaan. Begitupun Sunan Kalijaga saat melihat para warga belum mempunyai alat pertanian yang sempurna. Hal itu senada dengan cita-cita tinggi Sunan Kalijaga membuat cangkul dan bajak sebanyak-banyaknya untuk dibagikan kepada rakyat. Dijelaskan pula falsafah cangkul (pacul) yang berkaitan erat dengan orang yang ingin menjadi pemimpin masyarakat.

Novel ini dapat dijadikan sumber pengetahuan bagi pemula yang ingin mengetahui seluk beluk Sunan Kalijaga dan sesuatu yang berhubungan dengan islamisasi tanah Jawa. Menyajikan pengajaran ilmu ma'rifat Nabi Khidzir yang dikemas runtut sesuai alurnya sehingga menambah pembaca semakin penasaran terhadap episode selanjutnya. Adanya ulasan dari kitab" berbahasa jawa kuno kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadikan pembaca yang tidak paham bahasa jawa kuno bisa mengetahui artinya. Hal ini menunjukkan bahwa penulisnya paham akan bahasa jawa kuno dan referensi dalam membuat novel pun jelas.

Sebagai novel yang membicarakan sufisme Sunan Kalijaga, pembaca bisa meneladani ajaran dan laku spiritual sang guru sejati, wejangan-wejangan, dan ajaran Sunan Kalijaga. Makna piranti hidup yang tergambar dalam bagian-bagian bajak : Pegangan, Pancadan, Tanding, Singkal, Kejen, Olang-aling, Racuk. Selain itu terdapat juga falsafah cangkul (pacul). Pacul diartikan ngipatek sing muncul, artinya membuang apa yang timbul. Maksudnya : dalam menjalankan sesuatu yang baik, tentu timbullah godaan-godaan yang harus disingkirkan.

Peresensi : Lathifatus Sa'adah
Alamat      : Rt: 05/II Desa Pelemgede Kec. Pucakwangi, Pati Jawa Tengah
Status       : Siswi di MA Matholi'ul Huda Pucakwangi
Kontak      : lathifahs52892@gmail.com, Telp/WA : 085218256375
#cerpen: MAIN HUJAN

#cerpen: MAIN HUJAN


Oleh; Lek Rifa'i

"srrrrrrrrrrrrrr.........." Hujan tiba dengan derasnya. Banyak orang menyebut bahwa hujan turun membawa keberkahan. Orang Jawa menyebut "hujan" dengan kata "jawoh" yang diartikan sebagai singkatan dari bahasa Arab "ุฌุงุก ุฑุญู…ุฉ ุงู„ู„ู‡", kurang lebih artinya "turunya rahmat Allah".

"Alhamdulillah" suara emak dari rumah bagian belakang. Emak memang menantikan hujan dari kemarin. Ia ingin dengan adanya hujan sawahnya bisa terairi, sebab sawah kami merupakan sawah tadah hujan, jika hujan belum mampu mengairi sawah maka padi belum bisa kami tanam.

Hujan masih turun dengan derasnya, sesuai dengan yang kami harapkan. Hujan deras di waktu sore, waktunya para petani istirahat di rumah. Minum kopi dengan ditemani jagung goreng menjadi menu andalan di musim hujan. Sungguh nikmat yang luar biasa.

Ku seruput kopi, ku rasakan nikmatnya, manisnya, pahitnya, menyatu dalam satu cita rasa kopi ndeso. Entah ada apa pikiranku mulai mengingat masa kecil. Dimana setiap hujan datang, di situ ada wahana bermain gratis. Tak usah bayar, bebas main sepuasnya. Main air di bawah talang penghubung rumah, serasa mandi dibawah air terjun. Pokoknya lebih seru daripada di wahana air buatan manusia.

Seingatku dulu saya juga sering main mancing-mancingan. Bukan mancing beneran, hanya permainan. Itu aku lakukan  biasanya setelah hujan reda. Kuambil kayu, kuikat dengan tali rafia di ujungnya. Dan itulah senjata memancingku. Targetnya bukan di sungai, bukan di waduk, apalagi di pemancingan, sudah pasti bukan itu semua targetnya. Targetnya yaitu di selokan depan rumah, yang ada airnya setiap selesai hujan, kalau nggak hujan ya... nggak ada airnya. Jangan tanya ada ikannya apa tidak. Sudah pasti tidak ada. Namanya juga mancing-mancingan.

Itu yang kurasakan di masa kecilku. Kebahagiaan yang terasa tanpa adanya pikiran kapan ada pr kapan harus belajar. Pokoknya yang penting bermain. Saya sadar itu hanya kenangan kecilku tentu tak bisa kulakukan di hari ini. Walaupun hari ini hujan seperti waktu itu, tapi Usiaku bukan seperti waktu itu. Aku bukan kecil lagi.

Sitimulyo, 16 Januari 2019
MENUNGGU

MENUNGGU

#cerpen

Oleh: Lek Rifa'i *)

Hari ini aku merencanakan beberapa kegiatan untuk saya jalankan. Apakah semuanya berjalan? Tidak semudah itu Ferguso. Kegagalan menemani hari ini. Ternyata gagal masih suka dengan saya. Lalu kapan si gagal mau pergi dari kehidupanku yang saru ini, kapan dia move on? Wallahu alam.

Rencana saya pagi ini bisa memulai bimbingan skripsi. Dalam buku agenda kutuliskan jam 09.30 WIB untuk bertemu dengan dosen calon pembimbingku. (Saya katakan calon karena belum pernah bimbingan, dan surat bimbingannya masih belum saya berikan). Tapi ternyata, sayang seribu sayang beliau belum bisa bertemu jam itu juga.

Alasan kenapa saya belum bisa ketemu dengan pembimbing pada jam itu. Pertama, mobil beliaunya belum ada di kampus. Kedua, hasil chatingan dengan beliau, dan katanya. "Iya mas saya nanti ke kampus,  tapi ini masih di kantor Bappeda." Mencoba saya bersabar dan menunggu.

Pagi yang saya rencanakan indah dengan berbagai agenda terlaksana dengan baik mulai menunjukkan adanya ketidak pastian rencana dengan realita. Berencana itu baik, tetapi sering membuat rencana itu sama halnya melatih diri untuk kebal dengan namanya kecewa. Semakin sering kamu berencana semakin banyak hal yang tidak sesuai dengan rencanamu. Semakin banyak hal yang tidak sesuai dengan rencana, semakin banyak rasa kecewa sering hinggap pada dirimu. Dan itu sudah sering saya rasakan di usia yang belum genap 22 tahun ini. 

Jangan kawatir dengan masalah kecewa. Kecewa merupakan salah satu masalah dari beribu masalah di dunia ini. Kecewa tidak selamanya berakibat negatif. Semua perkara tidak bisa lepas dari positif dan negatif. Begitu pula dengan "kecewa", selain dampak negatif, positif pun ada padanya. Apa itu? Sabar. Kecewa mengajarkan kita untuk sabar. Orang sabar dekat dengan Allah.

Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Saya amati belum muncul juga mobil dosen yang kutunggu. Saya buka buku agenda, terlihat bahwa; "pukul 10.00 WIB  membaca buku di perpustakaan kampus." Kuputuskan saja melaksanakan agenda itu. Itung-itung sambil nunggu beliau Dosen.

Didalam perpustakaan tidak terasa dengan asyiknya saya telah habis puluhan halaman "Dunia Sophie" karya Justin Gaarder. Tiba-tiba di tengah membaca HP-ku bergetar, pertanda ada pesan. Saya lihat itu pesan. "Tunggu ya, ini saya masih di bengkel, benerin lampu." Itu pesan dari dosen yang saya tunggu-tunggu. Waktu telah menunjukkan pukul 11.30 WIB, setengah jam lagi perpustakaan tutup, jam istirahat.

Pesan itu saya jawab; "iya pak siap." Kemudian saya keluar dari perpustakaan karena azan dhuhur telah berkumandang.

Selesai sholat dhuhur saya merasa ada yang aneh dengan perut saya. Setelah saya rasa-rasakan ternyata  perut ngajak ke warung. Saya turuti si perut yang kosong untuk beli makan di warung depan kampus.

"makan bro?" Tanya teman.

"Iya ini mau makan bro." Jawab saya.

Makanan telah siap santap. Saya masukan nasi sesendok demi sesendok ke dalam mulutku. Tak lupa sesekali kerupuk juga saya masukkan, untuk menambah kenikmatan. Belum ada lima menit nasi sudah habis, kerupuk pun ikutan habis, minum yang belum. Saya aya t teh anget dalam gelas, seteguk dua teguk tiga teguk..... Lima teguk telah habis pula teh itu. Waktunya bayar.

Makan selesai tiba-tiba saya ingat bahwa pukul 14.00 WIB, saya ada janji dengan sahabat-sahabat "Forum Pecinta Buku" dan ini sudah pukul 13.00 WIB. Sedangkan Dosen yang saya tunggu masih belum datang ke kampus. Akhirnya saya putuskan untuk membatalkan pertemuan itu. Saya kirim pesan ke beliau; "maaf pak tidak jadi, saya ada urusan mendadak."

*) Penulis merupakan anak orang pinggiran

#cerpen perang

Gambar dari: https://www.google.com/search?q=gambar+senjata&safe=strict&client=ms-android-spc&prmd=ivsn&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=2ahUKEwiU1vOSsuPfAhWLLY8KHa_vCZEQ_AUoAXoECAsQAQ&biw=377&bih=594&dpr=1.27#imgrc=egsLjKcrZFOz_M


Perang Belum Selesai

"Wan, kapan kamu mau nikah?" Mencoba saya memulai bicara pada teman tentaraku.

"Setelah kita menang." Jawab teman tentaraku.

Nama temanku adalah Iwan Setyawan, dia berusia 30 tahun, tapi belum menikah. Saya kagum dengan dia, dengan kedisplinannya, dengan semangat juangnya. Ia termasuk orang yang totalitas dalam memperjuangkan kemerdekaan negaraku.

"Wan, kamu merasa jenu nggak tiga puluh tahun hidupmu terhabis dalam masa mencekam. Setiap saat nyawa terancam."

"Jujur ya, sebenarnya saya ingin terbebas dari ini semua. Tapi saya sadar bahwa kita tak akan terbebas kalau hanya diam saja. Kita harus melawan, dan terus melawan sampai menang." 

"Aku ingin bebas Wan, tapi aku tak ingin selamanya hidup seperti terpenjara semacam ini. Hidup dalam keadaan perang, dalam keadaan waspada setiap saat, setiap detik."

"Kau ingat kata Tan Malaka?" Si Iwan mencoba mengingatkanku.

"Yang mana Wan?"

"Jika kita menginginkan kemerdekaan orang lain, maka kita harus siap terpenjara."

"Iya aku ingat, ........."

***

"cut, oke soting  hari ini selesai kita lanjutkan besok." Sutradara menghentikan soting film hari ini. 

Ini adalah soting yang kesekian kalinya. Saya di sini berperan sebagai tentara yang sering mengeluh. Padahal saya kurang sepakat dengan peran ini. Karena sangat terbalik dengan kepribadian saya yang selalu bersyukur pada apa yang telah saya terima. 

Semoga ini semua menjadi pelajaran bagi saya dalam berakting. Amin.

Oleh; Lek Rifa'i

Pati, 08/01/2019

Resensi Buku

Gambar diambil dari Tokopedia


Judul Buku : Sufisme Sunan Kalijaga
Penulis        : Dr. Purwadi, M. Hum
Penerbit      : Araska, Bantul, Yogyakarta Cetakan      : Pertama, Mei 2015
Tebal           : × + 224 halaman

Tentang Sunan Kalijaga, Mensyiarkan Agama Islam di Jawa dan Media Berdakwah

Buku ini bercerita tentang kisah hidup spiritual Sunan Kalijaga pada masa mengenalkan agama islam khususnya di daerah Jawa. Ditulis dalam bentuk novel yang terdiri dari beberapa episode. Sunan Kalijaga merupakan salah satu bagian dari Walisongo (dalam bahasa Indonesia berarti sembilan wali). Mereka adalah tokoh-tokoh yang berjasa besar dalam pengembangan sekaligus tokoh yang menyebarkan ajaran agama islam. Ajaran islam dibawa dengan damai menggunakan media ajaran lama, namun sedikit demi sedikit mulai dimasuki nuansa islami.

Saat belajar khususnya belajar agama diperlukan adanya sosok guru. Sunan Kalijaga melakukan pengajaran ilmu sejati kepada semua elemen masyarakat. Tak bisa dipungkiri bahwa ajaran ilmu sejati yang disampaikan bisa diterima oleh masyarakat yang datang berbondong-bondong berguru kepada Sunan Kalijaga.

Berprinsip _Jawa digawa Arab digarab_ dalam bidang seni budaya mampu membuat orang awam menerima sepenuh hati ajaran islam. Kesenian pada zaman dahulu dipakai sebagai acara adat yang masih kental dengan ajaran nenek moyang. Melalui kecerdasan pemikiran dari Sunan Kalijaga terciptalah kearifan lokal yang mampu menciptakan suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Episode per episode novel ini dikemas secara runtut yang terdiri dari  sepuluh episode. Episode pertama hingga episode ketiga menceritakan Sunan Kalijaga mulai dari lahir hingga mencapai derajat insan kamil. Tentang perjalanan spiritual Sunan Kalijaga dalam menimba ilmu dengan Sunan Bonang hingga dan bertemu Nabi Khidir. Dijelaskan pula asal muasal gelar Sunan Kalijaga dan diangkat menjadi wali penutup, melengkapi walisongo yang awalnya baru berjumlah delapan wali.

Pada episode keempat buku ini membicarakan tanah kelahiran Sunan Kalijaga, kondisi Tuban di bawah Demak, dakwah islam di Kadipaten Tuban. Mulai halaman 56 hingga halaman 70 dijabarkan para bupati Tuban pertama hingga sekarang yang dalam buku disebutkan Bupati XLX Dra. Heni Relawati, M. Si. Berisi tentang silsilah bupati Tuban juga sejarah politik Kadipaten Tuban. Nama Sunan Kalijaga tak disebut pada episode ini. Melainkan orang-orang yang berperan dalam Kadipaten Tuban. Antara lain : Adipati Demak, Arya Wilwatikta, Pangeran Benowo, Senopati Mataram Hadiningrat, dan lain sebagainya. Mereka adalah tokoh-tokoh yang memperebutkan takhta di Kadipaten Tuban.

Proses mengislamkan perkampungan Cina yang dilakukan walisongo menemui banyak hambatan. Mulai dari puncak kejayaan sampai runtuhnya ketajaan Demak yang terjadi karena perebutan kekuasaan dalam lingkungan keluarga. Sunan Ampel yang ternyata adalah Boong Swi Hoo mempunyai seorang putra bernama Bonang, yang kemudian menjadi Sunan Bonang. (Hal. 82)

Pembangunan Masjid Agung Demak juga dijelaskan pada novel ini. Tentang saka tal atau tiang tatal Masjid Agung Demak yang terbuat dari kepingan-kepingan kayu yang sangat tepat dan rapi. Kini banyak rombongan orang yang sengaja datang ke Masjid Agung Demak untuk beribadah atau sekadar melihat keagungan masjid. Melihat peninggalan Sunan Kalijaga sembari mengingat-ingat sejarah. Bagaimana mungkin kepingan kayu disusun bisa sekuat itu menopang masjid semegah itu jikalau tanpa kekuasaan Allah. Hal ini mengindikasikan bahwa Sunan Kalijaga mempunyai karomah sebagai waliyullah.
Media dakwah yang dipakai wali salah satunya adalah wayang. Dalam novel ini sejarah wayang dipaparkan penulis pada episode kedelapan "dakwah agama islam dengan seni budaya". Tentang wayang beber, sejarah pembuatan wayang oleh para wali, dan pelengkap wayang yaitu gamelan. Para wali juga menciptakan tembang macapat yang bila ditafsirkan melambangkan tingkat kehidupan manusia dari lahir sampai ajal menghampiri. Dalam berdakwah, Sunan Kalijaga memberi wejangan-wejangan berharga. Dijelaskan oleh penulis ulasan singkat dari kitab Niti Sruti, kitab Niti Praja, dan kitab Sewaka berikut terjemah serta penjelasannya.

Pada episode terakhir penulis menceritakan ajaran Sunan Kalijaga tentang Cupu Manik Astagina atau pegangan hukum bagi para dewa. Digambarkan dalam novel ini, seorang yang berusaha meraih cita-cita yang mulia ( waranggana) pasti akan menjumpai banyak godaan. Begitupun Sunan Kalijaga saat melihat para warga belum mempunyai alat pertanian yang sempurna. Hal itu senada dengan cita-cita tinggi Sunan Kalijaga membuat cangkul dan bajak sebanyak-banyaknya untuk dibagikan kepada rakyat. Dijelaskan pula falsafah cangkul (pacul) yang berkaitan erat dengan orang yang ingin menjadi pemimpin masyarakat.

Novel ini dapat dijadikan sumber pengetahuan bagi pemula yang ingin mengetahui seluk beluk Sunan Kalijaga dan sesuatu yang berhubungan dengan islamisasi tanah Jawa. Menyajikan pengajaran ilmu ma'rifat Nabi Khidzir yang dikemas runtut sesuai alurnya sehingga menambah pembaca semakin penasaran terhadap episode selanjutnya. Adanya ulasan dari kitab" berbahasa jawa kuno kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadikan pembaca yang tidak paham bahasa jawa kuno bisa mengetahui artinya. Hal ini menunjukkan bahwa penulisnya paham akan bahasa jawa kuno dan referensi dalam membuat novel pun jelas.

Sebagai novel yang membicarakan sufisme Sunan Kalijaga, pembaca bisa meneladani ajaran dan laku spiritual sang guru sejati, wejangan-wejangan, dan ajaran Sunan Kalijaga. Makna piranti hidup yang tergambar dalam bagian-bagian bajak : Pegangan, Pancadan, Tanding, Singkal, Kejen, Olang-aling, Racuk. Selain itu terdapat juga falsafah cangkul (pacul). Pacul diartikan ngipatek sing muncul, artinya membuang apa yang timbul. Maksudnya : dalam menjalankan sesuatu yang baik, tentu timbullah godaan-godaan yang harus disingkirkan.

Peresensi : Lathifatus Sa'adah
Alamat      : Rt: 05/II Desa Pelemgede Kec. Pucakwangi, Pati Jawa Tengah
Status       : Siswi di MA Matholi'ul Huda Pucakwangi
Kontak      : lathifahs52892@gmail.com, Telp/WA : 085218256375
Buku Paman

Buku Paman

*)cerpen oleh: Lek Rifa'i

Siang itu matahari malu-malu menampakkan dirinya. Bersembunyi dibalik mendung hitam pekat seperti tidak sabar untuk menurunkan hujan. Kondisi ini membawa kabar gembira bagi para petani. Penantian panjang akan segera berakhir. Hujan turun, sawah berair, musim tanam pun tiba.

Terdengar bunyi "tik-tik" berasal dari genting rumah. Semakin lama "tik-tik" semakin cepat. Gerimis telah tiba. Sang mendung sudah tidak mampu menampung perasaan. Dan keluarlah semuanya, hujan.

"Assalamualaikum." Pintu rumah terbuka.
"Wa'alaikumsalam." Jawab laki-laki di ruang tamu.

Tergopoh anak gadis dengan kondisi memakai mantel mendekat pada laki-laki di ruang tamu rumah. Diulurkan tangan si gadis, dan disambut dengan uluran tangan laki-laki itu. Kini bersalamanlah kedua insan beda kelamin. Dicium tangan laki-laki oleh si gadis. "Copot dulu mantelnya, ganti baju terus makan, solat jangan lupa." Seru laki-laki itu pada si gadis. Si gadis pun segera meninggalkan ruang tamu.

Ditemani secangkir kopi dan kacang laki-laki itu duduk di atas sofa ruang tamu. Kelihatan raut muka kadang tersenyum, kadang sepaneng. Sebuah novel berada pada tangannya. Sebuah novel dengan cover gambar kereta kuda.

Tidak lama kemudian si gadis nampak lagi. Dengan pakaian yang berbeda, sudah bukan seragam sekolah lagi. Dengan gamis panjang, kerudung warna pink. Kaki sudah tidak bersepatu, melainkan tergantikan oleh sandal jepit.

Gadis itu mendekati laki-laki yang asik membaca novel itu. "Baca apa paman?" Tanya si gadis.

Dalam keadaan masih memperhatikan buku novel, pamannya laki-laki itu menjawab. "Ini paman lagi baca novel."

"coba Widia lihat paman."
"Ini,..." Laki-laki itu menutup novelnya dan memperlihatkan pada si gadis.

"Tebal banget, yang nulis siapa ini paman?" Tanya si gadis sambil membuka-buka halaman pada buku itu.

"Itu di depan ada tulisannya." Tunjuk laki-laki itu pada cover buku.

Ditutup buku itu oleh si gadis dan dibaca nama penulisnya. "Oh, Pramoedya Ananta Toer...."

"Iya itu penulisnya." Tegas si Laki-laki. "Kamu mau pinjam?" Lanjut laki-laki itu yang merupakan paman dari si gadis.

Si gadis itu mencoba membaca sinopsis dari buku itu. Kemudian dilihatnya halaman paling belakang. Dan dia yakin buku itu memang tebal. Melihat ketebalan buku yang berjudul "Bumi Manusia" itu ia mulai ragu untuk meminjam pada pamannya.

"ada yang lebih tipis dari ini nggak paman?" Tanya si gadis yang bernama Widia itu. "Soalnya saya dapat tugas Bahasa Indonesia untuk meresensi novel paman." Jelas si gadis.

"Ada, ini..." Ditinjuk buku di meja oleh pamannya.

"Ini paman?" Tanya Widia untuk meyakinkan. Diambilnya buku di meja ruang tamu itu yang berjudul "Serigala" tertulis nama penulis di cover bagian bawah "Soesilo Toer."

"buku silahkan dibaca. Besok kalau sudah selesai dibaca dan diresensi kembalikan ke Paman. Oke...." Ujar Pamannya Widia.

"Oke Paman, siap dan terimakasih." Ucap Widia.

Si Dia panggilan singkat Widia berjalan menuju ke kamar dengan membawa buku yang dipinjam dari pamannya. Waktu itu menunjukkan pukul 14.00. Hujan pun telah reda. Matahari mulai berani menampakkan diri dengan sedikit condong ke barat. Jalan Dia hampir sampai pada pintu kamar. Tiba-tiba terdengar suara dari belakang.

"Dek... Jangan lupa besok kalau selesai bacanya presentasi ke Paman ya!"

*) Penulis merupakan wakil ketua Komisariat PMII Joyokesumo STAI Pati.